Seorang wanita
tua berjalan tertatih lunglai di bawah awan mendung yang hampir meneteskan
hujan. Tak ada semangat sedikitpun tampak di wajahnya. Hanya ada segurat rasa
kecewa dan pasrah. Jalan di sampingnya nampak lengang. Maklum hari sudah sore.
Dalam benak
wanita itu masih terngiang tajamnya ucapan yang membuatnya kecewa dan pasrah.
“ Buat apa
kamu pinjem uang sebegitu banyaknya? Bukannya uang yang selama ini aku berikan
udah lebih dari cukup? “
“ Aku butuh
sekali uang, Mas. “
“ Untuk apa
yang aku tanya? “
“ Pokoknya
sekarang aku sedang butuh uang, Mas. “
“ Heh,
buntung busuk! Kalo ditanya jawab dulu! Buat apa uangnya? “
Wanita tua
itu menunduk diam. Menatap kaki kanannya yang tinggal separuh tertutup kaki palsu.Jelas ada hal yang tak
bisa dikatakannya.
“ Dasar,
buntung busuk tak tahu diuntung! Kalo mau punya uang yang banyak jangan minta
ke mantan suami. Sana minta sama orang di jalan! Dasar buntung busuk! Udah
untung dulu kaki buntung busukmu tak ganti kaki palsu. Otakmu ikut-ikutan busuk
ya? “
“ Tapi aku
bener-bener lagi butuh uang. Aku mohon mas pinjami aku uang. “
“ Terus kamu
bayar pake apa ntar, Hah?!? “
“ Walopun
lama ntar aku pasti akan bayar, Mas. “
“ Mas??? Mas
katamu? Heh, aku sekarang bukan suamimu lagi, Buntung! “
“ Mas, aku
mohon. Ini untuk yang terakhir kalinya. Aku janji gak akan nemuin mas lagi. “
Wanita tua itu kembali memohon.
“ Sana pergi,
Wanita Buntung Busuk! Aku udah gak mau liat buntung busukmu itu! “ Laki-laki yang sedari tadi duduk di depan
wanita itu berdiri lantas menendangnya.
Namun wanita itu malah memegang erat-erat
kaki mantan suaminya itu. Mantan suaminya pun semakin marah. Dia tak
tinggal diam. Tanganya langsung bergerak untuk menampar wanita itu.
Plak!
“ Dasar
Buntung Busuk gak tau diuntung! “ Sekali lagi laki-laki itu menampar mantan istrinya yang terduduk lemas di
lantai.
Plak !
Tes,tes,tes. Gerimis mulai turun. Wanita tua itu
memegang salah satun pipinya yang membiru. Nyeri dan perih. Apalagi di ujung
bibirnya berdarah. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, wanita tua itu kembali
berjalan tertatih dengan kaki kanan palsunya yang sudah lama tak dilepas karena
kekecilan.
Di dekat jembatan tua dia berhenti sejenak untuk
membenahi kaki palsunya. Tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan yang sangat
deras. Wanita tua itu lantas berteduh di bawah pohon mangga yang berdaun lebat
tak jauh dari jembatan tadi. Menunggu hujan deras itu reda, dia memandang
ke atas, ke awan yang sedang menumpahkan hujan.
“ Ibu gagal dapet uang. Maaafi ibu, Fin… “ ujarnya
lirih di tengah suara hujan yang deras. Air matanya perlahan mengalir di kedua
pipinya yang agak membengkak.
Lama dia memandang awan sambil menangis.
Namun dia sadar dan segera menghapus air matanya. Ada seseorang yang sedang
menantinya di rumah. Di tengah hujan deras yang masih turun, dia pulang dengan
berjalan tertatih. Tak ayal dalam sekejap saja seluruh tubunya langsung basah
kuyup.Namun dia tetap tak peduli bahkan ketika petir menggelegar di atasnya. Baginya
yang terpenting adalah pulang.
Rumah reyot yang
lebih pantas disebut gubuk itu bocor dimana-mana. Tak heran karena sebagian
besar atapnya tak bergenteng. Bukan karena gentengnya jatuh lalu pecah.
Melainkan karena sengaja dijual oleh si penghuni rumah.
Di pojok kamar –
satu-satunya ruangan yang aman dari bocor , ada selembar kasur tipis tanpa ranjang
yang di atasnya terbaring lemah seorang pemuda berambut gondrong. Tubuhnya
sangat kurus. Hanya kulit dan sedikit sekali daging yang membalut tulangnya
yang kecil. Wajahnya aneh karena terlihat agak seperti seorang perempuan.
Ditambah lagi dia mempunyai 2 tonjolan di dada yang mirip dengan payudara
tetapi tak sempurna. Ya, sepertinya dia seorang waria.
Seorang wanita
tua bertubuh basah kuyup masuk ke kamar itu dengan langkah tertatih. Nampaknya
dia sangat tak nyaman dengan kaki palsunya.
Dia menatap
sedih ke arah pemuda yang sedang terbaring lemah dengan nafas tak teratur.
“ Fin, ibu pulang…” ucapnya lirih sembari duduk di
samping anaknya.
Perlahan pemuda itu membuka matanya yang cekung
dan menghitam. Lama dia menatap ibunya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Tersenyum
bohong. Ibunya paham betul anaknya sangat lemah bahkan untuk bicara pun tidak
bisa.
“ Kamu
lapar, Fin? “ Tanyanya walaupun dia tahu anaknya tak akan menjawabnya. Dia juga
jelas tahu dari kemarin lusa mereka tidak makan apa-apa. Hanya minum air hujan
yang ditampungnya.
“ Ibu ambil air minum dulu ya…” Ibunya melangkah
tertatih keluar.
Setibanya di luar kamar dia malah terduduk lemas.
Air matanya mengucur deras tetapi tak ada sedikitpun suara dari mulutnya. Dia
menangis dalam diam.
Ingatannya kembali menampilkan kejadian yang tak
ingin diingatnya lagi. Kejadian yang bermula dari rasa sakit di pahanya yang
lama kelamaan nampak seperti luka. Luka-luka itu semakin banyak di kaki
kanannya. Baunya menyengat dan dihinggapi banyak lalat. Satu persatu tetangganya
mulai bergosip tentang sakit yang dideritanya. Mereka beranggapan dia mendapat
semacam ‘ kutukan ‘ karena kejahatannya. Kian lama gosip itu beredar, kian jauh
dia dijauhi oleh tetangganya. Bahkan suaminya juga terpengaruh dan beranggapan
dia adalah istri yang jahat karena menelantarkan bapaknya yang dulu juga
menderita sakit yang sama. Ujungnya dia diceraikan oleh suaminya.
Setelah itu suaminya menikah dengan orang lain. Anaknya yang saat itu masih SMP
juga terpengaruh. Dia membenci ibunya. Di keluarga bapaknya, dia diperlakukan
layaknya bukan anak. Karena itu dia kabur dan terjerumus ke pergaulan bebas
yang lantas menjadikannya waria. Sejak saat itulah dia sadar hidupnya dalam
sekejap berantakan seperti awan yang terseret angin besar. Dia pun berusaha
minta pertolongan dari kepala desa untuk mambantu menyembukan sakit yang
dideritanya. Akhirnya sakit yang bernama Kusta itu berhasil disembuhkan tetapi
kaki kanannya harus dia relakan untuk diamputasi.
Hidup menjadi penyandang
cacat bukanlah hal yang mudah baginya. Dia ditolak bekerja dimana-mana karena
dia dinilai tidak becus melakukan pekerjaan apapun. Berkat suaminya, dia
akhirnya bisa mendapat kaki palsu. Setelah mendapat kaki palsu pekerjaan tak
kunjung datang padanya. Gosip itu masih berlaku. Kusta adalah sebuah ‘ kutukan
‘ untuk orang jahat.
Hujan di luar
sana masih turun dengan derasnya. Wanita tua yang sedari tadi menangis dalam
diam perlahan menghapus air matanya. Bagaimanapun caranya dia harus mendapatkan
uang agar anaknya bisa makan. Sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia segera
beranjak dan melangkah ke luar rumah.
Awan mendung kini hilang. Langit dipenuhi bintang.
Hujan deras tadi sore kini hanya menyisakan dingin yang menusuk tulang.
Rumah reyot itu
masih basah dimana-mana. Wanita tua itu berjalan terpincang memasuki pintunya
yang sudah rusak. Kaki palsunya kini telah tiada. Dia hanya berjalan dengan
menggunakan kayu yang diikatkan dengan karet di kaki kanannya. Sebagai gantinya dia membawa seplastik penuh
makanan. Ya, kaki palsunya telah dia jual.
Mukanya pucat
dan tubuhnya masih basah kuyup. Dia terlihat lemas sekali. Dengan
terpincang-pincang dia masuk ke kamar dimana anaknya terbaring lemah.
“ Fin, ibu bawa
makanan. Ayo, kita makan bareng. “
Perlahan mata
anak semata wayangnya terbuka. Ibunya tersenyum sembari mengangkat plastik
penuh dengan makanan.
Dengan sigap
ibunya membuka bungkus nasi dengan lauk telur dan sayur daun singkong. Itu
makanan yang sangat mewah bagi mereka. Mewah sekali karena mereka jarang sekali
makan nasi. Biasanya mereka hanya makan sepotong singkong, itu pun tidak setiap
hari.
“ Ayo, makan
Fin. “ Wanita tua itu menyuapi anaknya dengan tangan.
Perlahan sang
anak membuka mulutnya dan memakannya. Dia mengunyahnya dengan pelan sekali.
Sembari makan dia terus memandangi ibunya.
Wanita tua itu
terus menyuapi anaknya sampai makanannya habis. Setelah itu dia meminumkan
sekotak susu cair pada anaknya.
“ Semoga besok
kamu sembuh ya, Fin. Sekarang kamu tidur dulu. “ Wanita tua itu mengusap kepala
anaknya lembut sembari merebahkan diri di samping anaknya.
Pemuda itu masih memandangi ibunya. Memandangi
kaki palsu ibunya yang telah tiada.
Wanita tua itu terus mengelus kepala anaknya
sampai akhirnya dia tertidur.
Pemuda itu terus memandangi ibunya yang
sudah terlelap. Tanpa dia sadari, air matanya telah mengalir.
Di luar sana entah kenapa tiba-tiba hujan
kembali turun.
Awan putih
nampak berarakan di langit biru. Rumput hijau bergoyang ditiup angin semilir
menyebarkan harum khasnya. Hari yang cerah dan indah.
Wanita tua
tersenyum sambil berbaring memandang langit di sebuah padang rumput yang luas.
Di samping wanita tua itu terbaring anak semata wayangnya. Dia juga sedang memandang langit.
“ Ibu suka
sekali dengan awan. Fin, kamu tahu
kenapa ibu suka awan ? “
“ Gak, Bu. Emang
kenapa? “
“ Karena kadang
awan bisa berubah menjadi awan mendung hitam. Kadang dia juga bisa berubah
menjadi awan putih bersih.“
“ Awan itu seperti
hati manusia yang bisa berubah.”
“ Berkat awanlah
ibu bisa bertahan selama ini. Ibu tahu hati manusia bisa berubah kapanpun.
Mungkin dulu dia membenci ibu tapi suatu saat dia bisa menyukai ibu. Tapi
sekarang itu sudah tak ada artinya lagi bagi ibu. “
“ Benar, Bu.
Kini tak ada artinya lagi. “
Angin semilir
bertiup. Membuat ibu dan anak itu
terbuai. Mereka berdua lalu terlelap.
“
Seorang ibu dengan kaki kanan buntung dan ananknya ditemukan meninggal di rumah
mereka. Diduga sang ibu terlebih dulu meninggal kira-kira empat hari yang lalu karena
mengalami infeksi parah di kaki kanannya. Kemudian disusul oleh sang anak yang meninggal sehari kemudian. Sang
anak sendiri adalah seorang waria yang mengidap HIV/AIDS dan kanker paru-paru.
Menurut salah satu warga di sekitar tempat kejadian, mereka berdua dikucilkan
oleh tetangga karena sang ibu dulunya menderita kusta. Berikut liputannya. “