Thursday 27 December 2012

Awan itu...



Seorang wanita tua berjalan tertatih lunglai di bawah awan mendung yang hampir meneteskan hujan. Tak ada semangat sedikitpun tampak di wajahnya. Hanya ada segurat rasa kecewa dan pasrah. Jalan di sampingnya nampak lengang. Maklum hari sudah sore.
Dalam benak wanita itu masih terngiang tajamnya ucapan yang membuatnya kecewa dan pasrah.
“ Buat apa kamu pinjem uang sebegitu banyaknya? Bukannya uang yang selama ini aku berikan udah lebih dari cukup? “
“ Aku butuh sekali uang, Mas. “
“ Untuk apa yang aku tanya? “
“ Pokoknya sekarang aku sedang butuh uang, Mas. “
“ Heh, buntung busuk! Kalo ditanya jawab dulu! Buat apa uangnya? “
Wanita tua itu menunduk diam. Menatap kaki kanannya yang tinggal separuh  tertutup kaki palsu.Jelas ada hal yang tak bisa dikatakannya.
“ Dasar, buntung busuk tak tahu diuntung! Kalo mau punya uang yang banyak jangan minta ke mantan suami. Sana minta sama orang di jalan! Dasar buntung busuk! Udah untung dulu kaki buntung busukmu tak ganti kaki palsu. Otakmu ikut-ikutan busuk ya? “
“ Tapi aku bener-bener lagi butuh uang. Aku mohon mas pinjami aku uang. “
“ Terus kamu bayar pake apa ntar, Hah?!? “
“ Walopun lama ntar aku pasti akan bayar, Mas. “
“ Mas??? Mas katamu? Heh, aku sekarang bukan suamimu lagi, Buntung! “
“ Mas, aku mohon. Ini untuk yang terakhir kalinya. Aku janji gak akan nemuin mas lagi. “ Wanita tua itu kembali memohon.
“ Sana pergi, Wanita Buntung Busuk! Aku udah gak mau liat buntung busukmu itu!  Laki-laki yang sedari tadi duduk di depan wanita itu berdiri lantas menendangnya.
Namun wanita itu malah memegang erat-erat kaki mantan suaminya itu. Mantan suaminya pun semakin marah. Dia tak tinggal diam. Tanganya langsung bergerak untuk menampar wanita itu.
Plak!
“ Dasar Buntung Busuk gak tau diuntung! “ Sekali lagi laki-laki itu menampar mantan istrinya yang terduduk lemas di lantai.
Plak !
Tes,tes,tes. Gerimis mulai turun. Wanita tua itu memegang salah satun pipinya yang membiru. Nyeri dan perih. Apalagi di ujung bibirnya berdarah. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, wanita tua itu kembali berjalan tertatih dengan kaki kanan palsunya yang sudah lama tak dilepas karena kekecilan.
Di dekat jembatan tua dia berhenti sejenak untuk membenahi kaki palsunya. Tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan yang sangat deras. Wanita tua itu lantas berteduh di bawah pohon mangga yang berdaun lebat tak jauh dari jembatan tadi. Menunggu hujan deras itu reda, dia memandang ke atas, ke awan yang sedang menumpahkan hujan.
“ Ibu gagal dapet uang. Maaafi ibu, Fin… “ ujarnya lirih di tengah suara hujan yang deras. Air matanya perlahan mengalir di kedua pipinya yang agak membengkak.
Lama dia memandang awan sambil menangis. Namun dia sadar dan segera menghapus air matanya. Ada seseorang yang sedang menantinya di rumah. Di tengah hujan deras yang masih turun, dia pulang dengan berjalan tertatih. Tak ayal dalam sekejap saja seluruh tubunya langsung basah kuyup.Namun dia tetap tak peduli bahkan ketika petir menggelegar di atasnya. Baginya yang terpenting adalah pulang.


Rumah reyot yang lebih pantas disebut gubuk itu bocor dimana-mana. Tak heran karena sebagian besar atapnya tak bergenteng. Bukan karena gentengnya jatuh lalu pecah. Melainkan karena sengaja dijual oleh si penghuni rumah.
Di pojok kamar – satu-satunya ruangan yang aman dari bocor , ada selembar kasur tipis tanpa ranjang yang di atasnya terbaring lemah seorang pemuda berambut gondrong. Tubuhnya sangat kurus. Hanya kulit dan sedikit sekali daging yang membalut tulangnya yang kecil. Wajahnya aneh karena terlihat agak seperti seorang perempuan. Ditambah lagi dia mempunyai 2 tonjolan di dada yang mirip dengan payudara tetapi tak sempurna. Ya, sepertinya dia seorang waria.
Seorang wanita tua bertubuh basah kuyup masuk ke kamar itu dengan langkah tertatih. Nampaknya dia sangat tak nyaman dengan kaki palsunya.
Dia menatap sedih ke arah pemuda yang sedang terbaring lemah dengan nafas tak teratur.
“ Fin, ibu pulang…” ucapnya lirih sembari duduk di samping anaknya.
Perlahan pemuda itu membuka matanya yang cekung dan menghitam. Lama dia menatap ibunya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Tersenyum bohong. Ibunya paham betul anaknya sangat lemah bahkan untuk bicara pun tidak bisa.
 “ Kamu lapar, Fin? “ Tanyanya walaupun dia tahu anaknya tak akan menjawabnya. Dia juga jelas tahu dari kemarin lusa mereka tidak makan apa-apa. Hanya minum air hujan yang ditampungnya.
“ Ibu ambil air minum dulu ya…” Ibunya melangkah tertatih keluar.
Setibanya di luar kamar dia malah terduduk lemas. Air matanya mengucur deras tetapi tak ada sedikitpun suara dari mulutnya. Dia menangis dalam diam.
Ingatannya kembali menampilkan kejadian yang tak ingin diingatnya lagi. Kejadian yang bermula dari rasa sakit di pahanya yang lama kelamaan nampak seperti luka. Luka-luka itu semakin banyak di kaki kanannya. Baunya menyengat dan dihinggapi banyak lalat. Satu persatu tetangganya mulai bergosip tentang sakit yang dideritanya. Mereka beranggapan dia mendapat semacam ‘ kutukan ‘ karena kejahatannya. Kian lama gosip itu beredar, kian jauh dia dijauhi oleh tetangganya. Bahkan suaminya juga terpengaruh dan beranggapan dia adalah istri yang jahat karena menelantarkan bapaknya yang dulu juga menderita sakit yang sama. Ujungnya dia diceraikan oleh suaminya. Setelah itu suaminya menikah dengan orang lain. Anaknya yang saat itu masih SMP juga terpengaruh. Dia membenci ibunya. Di keluarga bapaknya, dia diperlakukan layaknya bukan anak. Karena itu dia kabur dan terjerumus ke pergaulan bebas yang lantas menjadikannya waria. Sejak saat itulah dia sadar hidupnya dalam sekejap berantakan seperti awan yang terseret angin besar. Dia pun berusaha minta pertolongan dari kepala desa untuk mambantu menyembukan sakit yang dideritanya. Akhirnya sakit yang bernama Kusta itu berhasil disembuhkan tetapi kaki kanannya harus dia relakan untuk diamputasi.
Hidup menjadi penyandang cacat bukanlah hal yang mudah baginya. Dia ditolak bekerja dimana-mana karena dia dinilai tidak becus melakukan pekerjaan apapun. Berkat suaminya, dia akhirnya bisa mendapat kaki palsu. Setelah mendapat kaki palsu pekerjaan tak kunjung datang padanya. Gosip itu masih berlaku. Kusta adalah sebuah ‘ kutukan ‘ untuk orang jahat.
Hujan di luar sana masih turun dengan derasnya. Wanita tua yang sedari tadi menangis dalam diam perlahan menghapus air matanya. Bagaimanapun caranya dia harus mendapatkan uang agar anaknya bisa makan. Sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia segera beranjak dan melangkah ke luar rumah.


Awan mendung kini hilang. Langit dipenuhi bintang. Hujan deras tadi sore kini hanya menyisakan dingin yang menusuk tulang.
Rumah reyot itu masih basah dimana-mana. Wanita tua itu berjalan terpincang memasuki pintunya yang sudah rusak. Kaki palsunya kini telah tiada. Dia hanya berjalan dengan menggunakan kayu yang diikatkan dengan karet di kaki kanannya.  Sebagai gantinya dia membawa seplastik penuh makanan. Ya, kaki palsunya telah dia jual.
Mukanya pucat dan tubuhnya masih basah kuyup. Dia terlihat lemas sekali. Dengan terpincang-pincang dia masuk ke kamar dimana anaknya terbaring lemah.
“ Fin, ibu bawa makanan. Ayo, kita makan bareng. “
Perlahan mata anak semata wayangnya terbuka. Ibunya tersenyum sembari mengangkat plastik penuh dengan makanan.
Dengan sigap ibunya membuka bungkus nasi dengan lauk telur dan sayur daun singkong. Itu makanan yang sangat mewah bagi mereka. Mewah sekali karena mereka jarang sekali makan nasi. Biasanya mereka hanya makan sepotong singkong, itu pun tidak setiap hari.
“ Ayo, makan Fin. “ Wanita tua itu menyuapi anaknya dengan tangan.
Perlahan sang anak membuka mulutnya dan memakannya. Dia mengunyahnya dengan pelan sekali. Sembari makan dia terus memandangi ibunya.
Wanita tua itu terus menyuapi anaknya sampai makanannya habis. Setelah itu dia meminumkan sekotak susu cair pada anaknya.
“ Semoga besok kamu sembuh ya, Fin. Sekarang kamu tidur dulu. “ Wanita tua itu mengusap kepala anaknya lembut sembari merebahkan diri di samping anaknya.
Pemuda itu masih memandangi ibunya. Memandangi kaki palsu ibunya yang telah tiada.
Wanita tua itu terus mengelus kepala anaknya sampai akhirnya dia tertidur.
Pemuda itu terus memandangi ibunya yang sudah terlelap. Tanpa dia sadari, air matanya telah mengalir.
Di luar sana entah kenapa tiba-tiba hujan kembali turun.


Awan putih nampak berarakan di langit biru. Rumput hijau bergoyang ditiup angin semilir menyebarkan harum khasnya. Hari yang cerah dan indah.
Wanita tua tersenyum sambil berbaring memandang langit di sebuah padang rumput yang luas. Di samping wanita tua itu terbaring anak semata wayangnya. Dia juga sedang memandang langit.
“ Ibu suka sekali dengan awan. Fin, kamu tahu kenapa ibu suka awan ? “
“ Gak, Bu. Emang kenapa? “
“ Karena kadang awan bisa berubah menjadi awan mendung hitam. Kadang dia juga bisa berubah menjadi awan putih bersih.“
“ Awan itu seperti hati manusia yang bisa berubah.”
“ Berkat awanlah ibu bisa bertahan selama ini. Ibu tahu hati manusia bisa berubah kapanpun. Mungkin dulu dia membenci ibu tapi suatu saat dia bisa menyukai ibu. Tapi sekarang itu sudah tak ada artinya lagi bagi ibu. “
“ Benar, Bu. Kini tak ada artinya lagi. “
Angin semilir bertiup. Membuat  ibu dan anak itu terbuai. Mereka berdua lalu terlelap.


“ Seorang ibu dengan kaki kanan buntung dan ananknya ditemukan meninggal di rumah mereka. Diduga sang ibu terlebih dulu meninggal kira-kira empat hari yang lalu karena mengalami infeksi parah di kaki kanannya. Kemudian disusul oleh  sang anak yang meninggal sehari kemudian. Sang anak sendiri adalah seorang waria yang mengidap HIV/AIDS dan kanker paru-paru. Menurut salah satu warga di sekitar tempat kejadian, mereka berdua dikucilkan oleh tetangga karena sang ibu dulunya menderita kusta. Berikut liputannya. “

Nostalgia

Semua berawal dari sini
Lama tak jumpa
Akhirnya aku melihat perubahanmu
Waktu juga merubahku dalam perbedaan
Inikah nostalgia?

Aku membencimu
Yang membuat merah muda di masa awal musim semiku itu jadi buruk
Ulangan nostalgia kebencianku bahkan meluap jadi rindu

Segitiga Polisi




Ozy tersenyum melihat tulisannya yang berderet rapi di kolom cita-cita. Polisi. Begitu bunyinya. Ah… hanya membayangkan saja Ozy jadi bangga. Apalagi kalau dia benar-benar menjadi polisi. Bangga sekali!

Tak ada alasan yang jelas kenapa Ozy begitu ingin menjadi polisi.
“ Kenapa kamu pengen banget jadi polisi sih?” tanya Bayu pada suatu hari di bulan krisis.
“ Aku pengen punya banyak uang. ” Ozy menjawabnya enteng karena lagi makan kerupuk ( Apa hubungannya? )
Lain Bayu lain pula Mamat.
“ Kenapa harus polisi sih?Gak ada profesi lain apa? ”
“ Ada. Banyak malah. “
“ Apa? “
“ Pembantu polisi, suaminya polisi, satpamnya polisi, pembantunya polisi, sekretarisnya polisi, tukang cukurnya polisi, tetangganya polisi, bla, bla, bla… “
Gubrak! Mamat jatuh dengan kata ‘ polisi ‘ berputar-putar mengelilingi kepalanya.
Jika Ozy diperiksakan ke dokter, mungkin dokter langsung angkat tangan. Pasalnya, Ozy telah terjangkiti virus aneh nan langka bernama FBP (  Fans Berat Polisi ). Sebuah virus dimana si penderita mengucapkan kata ‘ polisi ‘ lebih dari 100 kali dalam sehari.Mengerikan!!!
Dan tadi tepat 100 kalinya Ozy mengucapkan kata keramat itu. Polisi.
“ Kok kamu gak nulis polisi sih di kolom cita-cita? Sini aku tulisin. “ Tangan Ozy bergerak setelah melihat kolom cita-cita di data pribadiku untuk album kenangan kosong melompong. Segera saja kusembunyikan lembar data pribadiku itu dari keganasan Ozy. Tetapi, Ozy berhasil merengutnya dariku. Dan mulai menulis… Polisi!!!
Oke, ralat! Tambah lagi ciri penderita virus FBP. Penderita virus FBP selalu memaksakan kehendak orang lain! Khususnya cita-cita.
“ Kenapa harus jadi polisi? Ini kan data pribadiku, bukan data pribadimu, ngapain kamu liat-liat? Nulis seenaknya sendiri lagi!” Tanganku langsung merebut lembar data pribadiku dari Ozy. Lalu, kuganti kata polisi dengan ilusator.
“ Polisi itu pekerjaan yang mulia lho!”
Seratus tiga. Ozy telah mengatakan kata keramatnya sebanyak seratus tiga kali. Dan aku tak tahu seberapa banyak lagi dia akan mengatakannya hari ini.
“ Mulia? “ Dahiku berkerut. “ Kalo kamu jadi polisi, kata ‘ mulia ‘ kabur duluan!” Aku mulai panas.
“ Jadi kamu benci polisi? ”
Seratus empat. Dia telah mengucapkan kata ‘ polisi ‘ seratus empat kali. Kalo udah 110 kali, aku akan me-lakban mulutnya.
“ Benci! Benci banget!!! “ Suaraku meninggi.
“ Kenapa kamu benci polisi? Ayahmu kan polisi, apa kamu benci ayahmu? Kalo pun iya, jangan benci polisi dong! Asal tau aja ya, kalo kamu benci polisi otomatis kamu benci ayahmu juga! Terus kalo kamu benci polisi, kamu berarti benci aku juga tau!!! “ Ozy mendelik lalu pergi membawa lembar data pribadinya dan mendekati meja Slamet.
Ya, aku benci. Benci pada polisi. Pada Ayahku. Dan pada…mu,batinku. Dasar cerewet!
Oya, aku tak jadi me-lakban mulutnya karena dia baru mengucapkan kata ‘ polisi ‘ sebanyak 109 kali. Kurang satu lagi.
“ Wah, kamu pengen jadi polisi ya? “ teriak Ozy saat melihat kata ‘ polisi ‘ di kolom cita-cita pada lembar data pribadi milik Slamet.
Sepertinya aku harus me-lakban mulutnya!!!
???
***
“ Pokonya gak mau!!! “
“ Vidar! “
“ Gak mau!!! Vidar pengen jadi ilusator bukan polisi!!! “
“ Kamu harus jadi polisi!!! “
“ GAK MAU!!! “
“ Kenapa? “
“ Polisi itu jahat! “
“ Jahat? Semua polisi itu baik, mau melindungi orang dari kecelakaan, pencurian, dan lainnya.
“ Polisi itu mata duitan! Suka nilangin orang! Suka maksa! “
“ Mata duitan? Suka nilangin? Suka maksa? “ ulang Ayah. “ Lalu, siapa yang suka nyogok, suka melanggar peraturan lalu lintas,  hah?!? Dan siapa pula yang suka berontak? “ Suara ayahnya meninggi. “ Kalau mereka mau menuruti aturan dengan baik, maka polisi akan baik juga.
“ Lalu, apakah menjadi polisi itu merupakan aturan?!? Atau paksaan? “
Drrtt, drrtt, drrtt… Ayah mengambil handphonenya dari dalam saku pakaian dinasnya.
“ Halo…Ya…Iya sebentar lagi saya kesana. “ Klik. Ayah terdiam. Dan aku telah menghilang dari hadapannya.
***
Kalau Jin Aladin benar-benar ada, aku hanya akan meminta satu permintaan. Satu. Ya, hanya satu yaitu membuang mulut Ozy ke Planet Pluto. Oh, bukan. Dia masih bisa mengambilnya lagi. Tempat yang cocok mungkin planet paling jauh di luar Milkyway. Emmm…aku rasa dia masih bisa mengambilnya. Lubang hitam. Ya, aku harus membuang mulut Ozy ke lubang  hitam. Rencana pembuangan ini bukannya tanpa alasan. Pasalnya, sehari ini Ozy telah mengatakan kata keramatnya sebanyak 299 kali ( Ini yang baru kudengar belum termasuk yang aku lewatkan. ). Wuih, hampir mengalahkan rekor yang dia ciptakan sendiri yaitu 310 kali. Hal ini mungkin membanggakan bagi Ozy. Tapi, bagiku ini menyakitkan. Menyakitkan hati. Dan tentunya…telingaku.
“ Harusnya kamu bangga disuruh jadi polisi, berarti kamu itu ada tampang jadi polisi. Nah, aku yang ngiler banget pengen jadi polisi malah gak boleh sama abahku. Kamu udah jelas-jelas boleh dan memenuhi syarat jadi polisi malah nolak! “ ocehnya.
Aku diam saja. Tetapi, telingaku jelas telah panas. Mendidih malah.
“ Pake kabur segala lagi! Emang kamu pikir itu cool? Keren? Hah?!? “
“ Kamu harus inget! Sebagai anak kita harus menuruti permintaan orang tua. Kalo ayahmu pengen kamu jadi polisi ya kamu harus jadi polisi. Toh, menjadi polisi bukanlah suatu dosa. Malahan menjadi polisi itu merupakan tugas yang mulia, “ ceramahnya. Terrr..lalu…( Dikiranya Bang Haji Roma apa??? )
Aku terlelap. Mencoba terlelap. Tetapi, telingaku yang telah kututup rapat-rapat dengan bantal Gundamnya masih aktif mendengarkan ceramah tak berujung Ozy yang membuat darahku mendidih.
“ Terus kenapa kamu pengen jadi ilusator? Gak keren. Gak berguna. Gak mutu. Kerjaannya cuma corat-coret doang! Mending jadi polisi. Lebih keren tau! “
Oke. Ini namanya sudah penghinaan. Dan ini membuatku sebal pada Ozy. Dan juga membuatku sadar bahwa pulang ke rumah lebih baik daripada tinggal di sini. Di kamar pengidap virus FPB stadium akut. Ya, lebih baik kalau aku pulang saja, toh ayah sudah berangkat dinas. Ya, aku harus pulang!
“ Terus polisi itu baik lho! Mau melindungi orang lain. “
Aku diam. Satu kali lagi!
“ Lagipula jadi polisi itu untung. Dapat banyak pahala juga dapat banyak uang. Terus bla, bla, bla… “ Mulut Ozy terus bergerak.
Aku ingin pulang! Aku tidak boleh berdiam diri.
Plok, plok, plok… Aku bertepuk  tangan . “ Selamat kamu dapat penghargaan! “ Aku bangun dari tempat tidurnya.
“ Penghargaan? “ tanya Ozy bingung. Akhirnya dia berhenti juga.
Belum sempat aku membuka mulut, pintu kamar Ozy terbuka lebih dulu. Kepala Kakak Ozy langsung menyembul.
“ Vidar, ini hape kamu kan? “ Kak Falen menunjukan Nokia 5700 milikku.
“ Iya. Emang ada apa, Kak? ”
“ Tadi hape kamu bunyi ternyata ada telepon, dari kantor polisi katanya. Gak sengaja kakak yang angkat terus tanya kamu ada gak, kakak jawab aja ada. Nih, katanya pengen ngomong sama kamu. “ Kak Falen memberikan handphoneku.
“ Eits, bentar dulu! Tadi penghargaan apa sih? “ tanya Ozy penasaran sebelum aku mengangkat telepon.
Bibirku tersenyum, membuatnya penasaran. “ Ada deh! “
“ Halo…Iya, saya Vidar……………………….”
***
Aku terduduk lemas di depan sebuah pusara yang masih merah lengkap dengan bungan-bunganya yang masih wangi menyengat khas bunga 7 rupa. Perkuburan telah lengang. Menyisakan suasana hening, penuh kekusyukan pada-Nya. Tanganku menengadah ke atas, berdoa. Tetapi,di telingaku terus terdengar suara-suara yang mengingatkan dengan ayah.
“ … Semua polisi itu baik, mau melindungi orang dari kecelakaan, pencurian, dan lainnya. “
“ … Toh, menjadi polisi bukanlah suatu dosa. Malahan menjadi polisi itu merupakan tugas yang mulia. ”
“  … Maaf, ayah Adik meninggal dalam tugas. Beliau tertabrak truk saat mengejar pengendara motor yang tidak memakai helm. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau berpesan agar saya mengajak Adik bergabung menjadi polisi. Dan percayalah, Dik, bahwa polisi itu baik. Contohnya ayah Adik sendiri. Beliau sebenarnya akan menolong pengendara motor itu karena jika pengendara itu mengalami kecelakaan resiko meninggalnya tinggi. Sayangnya, pengendara itu tidak patuh dan malah kabur. Jadilah, ayah Adik mengejarnya. Hampir saja pengendara itu tertabrak truk jika ayah Adik tidak segera mendorongnya menjauh. Dan… ayah Adiklah yang tertabrak. Kami dari pihak kepolisian, mohon maaf dan turut berbela sungkawa sedalam-dalamnya… “
Tes! Airmataku jatuh. Doaku terhenti.
Ibuku telah lama meninggal. Dan kini ayah telah meninggal juga. Aku adalah anak semata wayang. Maka, kini aku sendirian. Hatiku hampa. Pikiranku kosong. Tak tahu apa yang harus kulakukan nanti.
“ Kamu harus jadi polisi! “ Kalimat itu terngiang di telingaku. Berulang-ulang.
Puk! Seorang menepuk bahuku dari belakang.
Ozy!
“ Ayo, pulang! “ ucapnya.
Ku seka airmataku. Bibirku susah payah mengulas senyum. Senyum tipis. Aku segera berdiri dibantu Ozy. Kami lalu berjalan beriringan seraya memandang matahari senja lewat celah daun kamboja.
“ Ozy! “
“ Apa? “
“ Aku pengen jadi polisi…, “ ucapku lirih.
Ozy tersenyum. Aku juga.
Dan suara burung gagak melepas kepergian kami dari perkuburan yang semakin hening dan senyap menyambut datangnya gelap.
***
Hari ini aku dan Ozy akan mendaftar ke AKPOL agar nanti bisa menjadi polisi. Seminggu yang lalu kami telah lulus SMA dengan hasil yang memuaskan ( Tetapi menurut Ozy, nilai Matematikanya kurang memuaskan. Dia ingin nilai Matematikanya itu 10 bukan 9,8 . Dasar anak itu! ).
Kami berangkat pukul 11 siang. Padahal pendaftaran ditutup pukul setengah dua belas! . Ini hari terakhir pula. Alamak! Ozy yang mengendarai motor langsung tancap gas.
Nguuung…! Motor melaju kencang. Untunglah, jalanan tampaknya lengang.
“ Eh, kayaknya kita telat deh! “ ucapku di tengah perjalanan.
“ Ini kan gara-gara kamu! “
“ Kok gara-gara aku? “
“ Tadi kan kamu bangunnya telat, Dar!”
“ Enak aja! Gara-gara kamu kali! Kamu kan tadi mandinya lama! “ bantahku sewot.
“ Kan gak ngaruh! “ sangkalnya.
“ Gak ngaruh apanya?!? Aku emang bangun jam sepuluh tapi pas aku mau mandi ternyata kamu lagi mandi. Ya, aku nunggu. Mandinya kamu lama banget tau! Setengah jam lebih! “
“ Biarin…,” ujar Ozy tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Bikin gregetan nih anak! Tanganku pun tak bisa tinggal diam. Tanpa ampun aku menjitak kepalanya yang terbungkus helm.
“ Apa-apaan sih?!? “ seru Ozy. Motor agak oleng seketika.
Tiiin…! Raungan klakson membuatku menoleh ke belakang. Polisi!!! Polisi mengejar kami!!!
“ Hey, kalian! Berhenti! “
“ Kenapa, Pak? “ tanyaku sambil membuka kaca helm. Motor masih tetap melaju karena tampaknya Ozy belum tahu tentang adanya polisi itu.
“ Kalian mengganggu lalu lintas! “ Dari mulutnya samar-samar tercium bau minuman keras.
“ Mengganggu laul lintas? Kami sudah menaati peraturan lalu lintas kok, Pak! Kami punya SIM, STNK, dan sudah memakai helm. Lalu, apa yang mengganggu? “
“ Kalian berhenti dulu! “ teriak polisi itu garang lantas segera menyalip kami.
“ Kenapa ada polisi, Dar? “ tanya Ozy bingung karena daritadi tak tahu apa-apa.
“ Heh! Berhenti! “ Polisi itu kini telah sejajar dengan kami.
Kulihat jam tanganku yang telah menujukkan pukul setengah dua belas tepat!!!
“ Waktunya udah mepet, mending kita kabur aja! Daripada telat, “  ucapku agak keras di dekat telinga Ozy yang tertutup oleh helm.
“ Tapi… “
“ Heh!!! Berhenti!!! “ Polisi itu berteriak keras.
“ Udah kabur aja! Toh, kita gak salah kok! “ Memang tidak ada yang salah kan?
“ Heh!!! Berhenti!!! “
Nguuung…!!! Motor kami akhirnya menyalip motor polisi itu.
“ Gak pa-pa nih, Dar? “
“ Nyantai aja… “
“ Nyantai aja? Maksudku kita telat gak? Ini jam berapa? “
“ Eh… Udah telat sih. Tapi, kata omku, kalo belum jam 12 gak pa-pa kok! Ini baru jam setengah dua belas lebih 5 menit. “
“ Untunglah… “
Tiiin…!!! Polisi itu masih mengejar.
“ Heh! Berhenti kalian!!! “
“ Lewat jalan pintas aja, Zy! Yang biasa buat adu burung dara, “ perintahku mengingat waktu yang mepet dan polisi aneh yang terus mengejar.
“ Yang lewat tengah sawah kan? Oke deh! “
Kami pun lewat jalan pintas. Polisi aneh itu tak mau mengalah. Dia terus saja mengejar kami. Sebenarnya maunya dia apa sih?
“ Aduh, bensinnya mau abis! “
Waduh!
Motor kami pun mulai melambat. Dan membuat motornya semakin mendekati kami.
“ Kamu turun deh! Ntar biar yang ditangkap aku aja! Terus kamu naik angkot ke kantornya, “ usul Ozy.
Benar juga sih. Tapi, … “ Gak mau! Kita mau jadi polisi berdua, batalnya juga berdua juga dong! “ tolakku.
Tepat saat itu polisi telah menjajari kami. Dia mendelik ke arah kami. “ Berhenti!!! “ Bau minuman keras keluar tajam dari mulutnya, menguatkan dugaan bahwa polisi ini tidak benar.
Kami harus kabur.
“ Sana cepet turun! “
“ Gak mau!!! “
“ Berhenti!!! “
Motor tetap melaju. Aku juga tak kunjung turun dari motor. Polisi itu tak sabar lagi dan mulai meraih ekor motor kami. Dia berhasil. Dia langsung menarik dan mengguncang-guncang motor kami dari belakang. Kami tetap ngotot berjalan dengan motor kami. Kami diam. Suasana begitu tegang.
Polisi makin marah. Dia lalu menendangi motor kami. Kami tetap saja melaju. Lalu, saat melewati tikungan, polisi itu menendang motor kami dengan sangat kuat dan keras. Sangat keras! Aku segera memejamkan mata.
Motor pun oleng. Jatuh terguling-guling. Bersamaan itu suara Ozy mengerang kesakitan menjadi suara yang membuat mataku terbuka.
“ Ozy… !!! “ teriakku saat melihat Ozy yang bersimbah darah tertindih motor, tak jauh dariku.
“ Vi… Vi… Vi…dar… , “ ucapnya susah payah.
Aku segera mendekat dan menyingkirkan motor dari atas tubuhnya. Kuraih kepalanya lalu kupangku. Airmataku mengucur deras. Bibirku tak dapat mengucapkan sesuatu. Hatiku tercampur aduk. Antara sedih, marah, dan geram. Kemana perginya polisi sialan itu? Seenaknya saja dia kabur!!!
Kata-kata tentang kebaikan polisi kembali terngiang. Seperti kaset yang berdengung menyakitkan hati.
Aku benci polisi! Aku benci polisi!!! AKU BENCI POLISI!!! AMAT SANGAT BENCI POLISI!!!
Persetan dengan semua! Yang penting AKU BENCI POLISI!!!
Ozy mengerang pelan. Nafasnya tersengal-sengal seolah kehabisan udara. Haruskah berakhir seperti ini?
“ Vi… vi… dar… “
“ Apa, Zy? “
“ Ja… ja… ngan… ben… ci…po..po…………. ”
Aku menutup telingaku. Aku tidak ingin dengar! Tidak ingin!
Setelah itu, mata Ozy mulai tertutup pelan-pelan. Nafasnya menghilang perlahan. Dan bibirnya mengulas senyum damai.
Airmataku langsung menderas.
“ OZYYY… !!! “
***
Aku tersenyum puas. Bangga. Tanpa rasa bersalah. Mataku menyiratkan mata elang yang telah memangsa buruannya. Dengan santainya, aku melangkahkan kakiku. Memasukan kedua tanganku ke dalam saku celana.
Dendamku terbalas sudah. Kematian Ozy 5 tahun yang lalu akhirnya terbalas. Keinginan ayah terkabul juga.
Kini aku telah menjadi polisi. Polisi yang membenci polisi. Polisi yang tak ingin jadi polisi. Polisi yang membunuh polisi!!!
Bunyi mobil pemadam kebakaran meraung. Sedangkan aku dengan santai meninggalkan kantor tempatku bekerja dalam keadaan terlalap si jago merah. 






Friday 21 December 2012

Sulap Kerinduan






Harusnya tidak ada awal,
                awal dimana benih dan tanah keping merah jambu bertemu
tertanam menjadi bunga penyebar rindu sendu
Menyuburkan bunga adalah penyesalan
dimana aku dianggapnya sebuah kutukan
Kutukan buatku tuk yakinkan
Bahwa bunga haruslah tercabut
Lalu biarkan jejaknya hilang terhanyut, tinggalkan  carut luka terbalut

Tanah keping merah jambu tak lagi pernah terisi
Hanya sekedar bibit bunga  sekedar singgah berseri
Yang segera terhanyut oleh banjir kebencian tiada henti
Kebencian padanya meluap
Hingga kekosongan di tanah keping merah jambu tersulap
Tersulap aneh hingga tanpa sadar mengeluarkan mantra yang buat sesosok bayangnya
Sesosok bayangnnya yang nyata namun maya
Inikah sulap kerinduan?
Perpaduan luapan benci dan kekosongan?
13 Desember 2012