Thursday 27 December 2012

Segitiga Polisi




Ozy tersenyum melihat tulisannya yang berderet rapi di kolom cita-cita. Polisi. Begitu bunyinya. Ah… hanya membayangkan saja Ozy jadi bangga. Apalagi kalau dia benar-benar menjadi polisi. Bangga sekali!

Tak ada alasan yang jelas kenapa Ozy begitu ingin menjadi polisi.
“ Kenapa kamu pengen banget jadi polisi sih?” tanya Bayu pada suatu hari di bulan krisis.
“ Aku pengen punya banyak uang. ” Ozy menjawabnya enteng karena lagi makan kerupuk ( Apa hubungannya? )
Lain Bayu lain pula Mamat.
“ Kenapa harus polisi sih?Gak ada profesi lain apa? ”
“ Ada. Banyak malah. “
“ Apa? “
“ Pembantu polisi, suaminya polisi, satpamnya polisi, pembantunya polisi, sekretarisnya polisi, tukang cukurnya polisi, tetangganya polisi, bla, bla, bla… “
Gubrak! Mamat jatuh dengan kata ‘ polisi ‘ berputar-putar mengelilingi kepalanya.
Jika Ozy diperiksakan ke dokter, mungkin dokter langsung angkat tangan. Pasalnya, Ozy telah terjangkiti virus aneh nan langka bernama FBP (  Fans Berat Polisi ). Sebuah virus dimana si penderita mengucapkan kata ‘ polisi ‘ lebih dari 100 kali dalam sehari.Mengerikan!!!
Dan tadi tepat 100 kalinya Ozy mengucapkan kata keramat itu. Polisi.
“ Kok kamu gak nulis polisi sih di kolom cita-cita? Sini aku tulisin. “ Tangan Ozy bergerak setelah melihat kolom cita-cita di data pribadiku untuk album kenangan kosong melompong. Segera saja kusembunyikan lembar data pribadiku itu dari keganasan Ozy. Tetapi, Ozy berhasil merengutnya dariku. Dan mulai menulis… Polisi!!!
Oke, ralat! Tambah lagi ciri penderita virus FBP. Penderita virus FBP selalu memaksakan kehendak orang lain! Khususnya cita-cita.
“ Kenapa harus jadi polisi? Ini kan data pribadiku, bukan data pribadimu, ngapain kamu liat-liat? Nulis seenaknya sendiri lagi!” Tanganku langsung merebut lembar data pribadiku dari Ozy. Lalu, kuganti kata polisi dengan ilusator.
“ Polisi itu pekerjaan yang mulia lho!”
Seratus tiga. Ozy telah mengatakan kata keramatnya sebanyak seratus tiga kali. Dan aku tak tahu seberapa banyak lagi dia akan mengatakannya hari ini.
“ Mulia? “ Dahiku berkerut. “ Kalo kamu jadi polisi, kata ‘ mulia ‘ kabur duluan!” Aku mulai panas.
“ Jadi kamu benci polisi? ”
Seratus empat. Dia telah mengucapkan kata ‘ polisi ‘ seratus empat kali. Kalo udah 110 kali, aku akan me-lakban mulutnya.
“ Benci! Benci banget!!! “ Suaraku meninggi.
“ Kenapa kamu benci polisi? Ayahmu kan polisi, apa kamu benci ayahmu? Kalo pun iya, jangan benci polisi dong! Asal tau aja ya, kalo kamu benci polisi otomatis kamu benci ayahmu juga! Terus kalo kamu benci polisi, kamu berarti benci aku juga tau!!! “ Ozy mendelik lalu pergi membawa lembar data pribadinya dan mendekati meja Slamet.
Ya, aku benci. Benci pada polisi. Pada Ayahku. Dan pada…mu,batinku. Dasar cerewet!
Oya, aku tak jadi me-lakban mulutnya karena dia baru mengucapkan kata ‘ polisi ‘ sebanyak 109 kali. Kurang satu lagi.
“ Wah, kamu pengen jadi polisi ya? “ teriak Ozy saat melihat kata ‘ polisi ‘ di kolom cita-cita pada lembar data pribadi milik Slamet.
Sepertinya aku harus me-lakban mulutnya!!!
???
***
“ Pokonya gak mau!!! “
“ Vidar! “
“ Gak mau!!! Vidar pengen jadi ilusator bukan polisi!!! “
“ Kamu harus jadi polisi!!! “
“ GAK MAU!!! “
“ Kenapa? “
“ Polisi itu jahat! “
“ Jahat? Semua polisi itu baik, mau melindungi orang dari kecelakaan, pencurian, dan lainnya.
“ Polisi itu mata duitan! Suka nilangin orang! Suka maksa! “
“ Mata duitan? Suka nilangin? Suka maksa? “ ulang Ayah. “ Lalu, siapa yang suka nyogok, suka melanggar peraturan lalu lintas,  hah?!? Dan siapa pula yang suka berontak? “ Suara ayahnya meninggi. “ Kalau mereka mau menuruti aturan dengan baik, maka polisi akan baik juga.
“ Lalu, apakah menjadi polisi itu merupakan aturan?!? Atau paksaan? “
Drrtt, drrtt, drrtt… Ayah mengambil handphonenya dari dalam saku pakaian dinasnya.
“ Halo…Ya…Iya sebentar lagi saya kesana. “ Klik. Ayah terdiam. Dan aku telah menghilang dari hadapannya.
***
Kalau Jin Aladin benar-benar ada, aku hanya akan meminta satu permintaan. Satu. Ya, hanya satu yaitu membuang mulut Ozy ke Planet Pluto. Oh, bukan. Dia masih bisa mengambilnya lagi. Tempat yang cocok mungkin planet paling jauh di luar Milkyway. Emmm…aku rasa dia masih bisa mengambilnya. Lubang hitam. Ya, aku harus membuang mulut Ozy ke lubang  hitam. Rencana pembuangan ini bukannya tanpa alasan. Pasalnya, sehari ini Ozy telah mengatakan kata keramatnya sebanyak 299 kali ( Ini yang baru kudengar belum termasuk yang aku lewatkan. ). Wuih, hampir mengalahkan rekor yang dia ciptakan sendiri yaitu 310 kali. Hal ini mungkin membanggakan bagi Ozy. Tapi, bagiku ini menyakitkan. Menyakitkan hati. Dan tentunya…telingaku.
“ Harusnya kamu bangga disuruh jadi polisi, berarti kamu itu ada tampang jadi polisi. Nah, aku yang ngiler banget pengen jadi polisi malah gak boleh sama abahku. Kamu udah jelas-jelas boleh dan memenuhi syarat jadi polisi malah nolak! “ ocehnya.
Aku diam saja. Tetapi, telingaku jelas telah panas. Mendidih malah.
“ Pake kabur segala lagi! Emang kamu pikir itu cool? Keren? Hah?!? “
“ Kamu harus inget! Sebagai anak kita harus menuruti permintaan orang tua. Kalo ayahmu pengen kamu jadi polisi ya kamu harus jadi polisi. Toh, menjadi polisi bukanlah suatu dosa. Malahan menjadi polisi itu merupakan tugas yang mulia, “ ceramahnya. Terrr..lalu…( Dikiranya Bang Haji Roma apa??? )
Aku terlelap. Mencoba terlelap. Tetapi, telingaku yang telah kututup rapat-rapat dengan bantal Gundamnya masih aktif mendengarkan ceramah tak berujung Ozy yang membuat darahku mendidih.
“ Terus kenapa kamu pengen jadi ilusator? Gak keren. Gak berguna. Gak mutu. Kerjaannya cuma corat-coret doang! Mending jadi polisi. Lebih keren tau! “
Oke. Ini namanya sudah penghinaan. Dan ini membuatku sebal pada Ozy. Dan juga membuatku sadar bahwa pulang ke rumah lebih baik daripada tinggal di sini. Di kamar pengidap virus FPB stadium akut. Ya, lebih baik kalau aku pulang saja, toh ayah sudah berangkat dinas. Ya, aku harus pulang!
“ Terus polisi itu baik lho! Mau melindungi orang lain. “
Aku diam. Satu kali lagi!
“ Lagipula jadi polisi itu untung. Dapat banyak pahala juga dapat banyak uang. Terus bla, bla, bla… “ Mulut Ozy terus bergerak.
Aku ingin pulang! Aku tidak boleh berdiam diri.
Plok, plok, plok… Aku bertepuk  tangan . “ Selamat kamu dapat penghargaan! “ Aku bangun dari tempat tidurnya.
“ Penghargaan? “ tanya Ozy bingung. Akhirnya dia berhenti juga.
Belum sempat aku membuka mulut, pintu kamar Ozy terbuka lebih dulu. Kepala Kakak Ozy langsung menyembul.
“ Vidar, ini hape kamu kan? “ Kak Falen menunjukan Nokia 5700 milikku.
“ Iya. Emang ada apa, Kak? ”
“ Tadi hape kamu bunyi ternyata ada telepon, dari kantor polisi katanya. Gak sengaja kakak yang angkat terus tanya kamu ada gak, kakak jawab aja ada. Nih, katanya pengen ngomong sama kamu. “ Kak Falen memberikan handphoneku.
“ Eits, bentar dulu! Tadi penghargaan apa sih? “ tanya Ozy penasaran sebelum aku mengangkat telepon.
Bibirku tersenyum, membuatnya penasaran. “ Ada deh! “
“ Halo…Iya, saya Vidar……………………….”
***
Aku terduduk lemas di depan sebuah pusara yang masih merah lengkap dengan bungan-bunganya yang masih wangi menyengat khas bunga 7 rupa. Perkuburan telah lengang. Menyisakan suasana hening, penuh kekusyukan pada-Nya. Tanganku menengadah ke atas, berdoa. Tetapi,di telingaku terus terdengar suara-suara yang mengingatkan dengan ayah.
“ … Semua polisi itu baik, mau melindungi orang dari kecelakaan, pencurian, dan lainnya. “
“ … Toh, menjadi polisi bukanlah suatu dosa. Malahan menjadi polisi itu merupakan tugas yang mulia. ”
“  … Maaf, ayah Adik meninggal dalam tugas. Beliau tertabrak truk saat mengejar pengendara motor yang tidak memakai helm. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau berpesan agar saya mengajak Adik bergabung menjadi polisi. Dan percayalah, Dik, bahwa polisi itu baik. Contohnya ayah Adik sendiri. Beliau sebenarnya akan menolong pengendara motor itu karena jika pengendara itu mengalami kecelakaan resiko meninggalnya tinggi. Sayangnya, pengendara itu tidak patuh dan malah kabur. Jadilah, ayah Adik mengejarnya. Hampir saja pengendara itu tertabrak truk jika ayah Adik tidak segera mendorongnya menjauh. Dan… ayah Adiklah yang tertabrak. Kami dari pihak kepolisian, mohon maaf dan turut berbela sungkawa sedalam-dalamnya… “
Tes! Airmataku jatuh. Doaku terhenti.
Ibuku telah lama meninggal. Dan kini ayah telah meninggal juga. Aku adalah anak semata wayang. Maka, kini aku sendirian. Hatiku hampa. Pikiranku kosong. Tak tahu apa yang harus kulakukan nanti.
“ Kamu harus jadi polisi! “ Kalimat itu terngiang di telingaku. Berulang-ulang.
Puk! Seorang menepuk bahuku dari belakang.
Ozy!
“ Ayo, pulang! “ ucapnya.
Ku seka airmataku. Bibirku susah payah mengulas senyum. Senyum tipis. Aku segera berdiri dibantu Ozy. Kami lalu berjalan beriringan seraya memandang matahari senja lewat celah daun kamboja.
“ Ozy! “
“ Apa? “
“ Aku pengen jadi polisi…, “ ucapku lirih.
Ozy tersenyum. Aku juga.
Dan suara burung gagak melepas kepergian kami dari perkuburan yang semakin hening dan senyap menyambut datangnya gelap.
***
Hari ini aku dan Ozy akan mendaftar ke AKPOL agar nanti bisa menjadi polisi. Seminggu yang lalu kami telah lulus SMA dengan hasil yang memuaskan ( Tetapi menurut Ozy, nilai Matematikanya kurang memuaskan. Dia ingin nilai Matematikanya itu 10 bukan 9,8 . Dasar anak itu! ).
Kami berangkat pukul 11 siang. Padahal pendaftaran ditutup pukul setengah dua belas! . Ini hari terakhir pula. Alamak! Ozy yang mengendarai motor langsung tancap gas.
Nguuung…! Motor melaju kencang. Untunglah, jalanan tampaknya lengang.
“ Eh, kayaknya kita telat deh! “ ucapku di tengah perjalanan.
“ Ini kan gara-gara kamu! “
“ Kok gara-gara aku? “
“ Tadi kan kamu bangunnya telat, Dar!”
“ Enak aja! Gara-gara kamu kali! Kamu kan tadi mandinya lama! “ bantahku sewot.
“ Kan gak ngaruh! “ sangkalnya.
“ Gak ngaruh apanya?!? Aku emang bangun jam sepuluh tapi pas aku mau mandi ternyata kamu lagi mandi. Ya, aku nunggu. Mandinya kamu lama banget tau! Setengah jam lebih! “
“ Biarin…,” ujar Ozy tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Bikin gregetan nih anak! Tanganku pun tak bisa tinggal diam. Tanpa ampun aku menjitak kepalanya yang terbungkus helm.
“ Apa-apaan sih?!? “ seru Ozy. Motor agak oleng seketika.
Tiiin…! Raungan klakson membuatku menoleh ke belakang. Polisi!!! Polisi mengejar kami!!!
“ Hey, kalian! Berhenti! “
“ Kenapa, Pak? “ tanyaku sambil membuka kaca helm. Motor masih tetap melaju karena tampaknya Ozy belum tahu tentang adanya polisi itu.
“ Kalian mengganggu lalu lintas! “ Dari mulutnya samar-samar tercium bau minuman keras.
“ Mengganggu laul lintas? Kami sudah menaati peraturan lalu lintas kok, Pak! Kami punya SIM, STNK, dan sudah memakai helm. Lalu, apa yang mengganggu? “
“ Kalian berhenti dulu! “ teriak polisi itu garang lantas segera menyalip kami.
“ Kenapa ada polisi, Dar? “ tanya Ozy bingung karena daritadi tak tahu apa-apa.
“ Heh! Berhenti! “ Polisi itu kini telah sejajar dengan kami.
Kulihat jam tanganku yang telah menujukkan pukul setengah dua belas tepat!!!
“ Waktunya udah mepet, mending kita kabur aja! Daripada telat, “  ucapku agak keras di dekat telinga Ozy yang tertutup oleh helm.
“ Tapi… “
“ Heh!!! Berhenti!!! “ Polisi itu berteriak keras.
“ Udah kabur aja! Toh, kita gak salah kok! “ Memang tidak ada yang salah kan?
“ Heh!!! Berhenti!!! “
Nguuung…!!! Motor kami akhirnya menyalip motor polisi itu.
“ Gak pa-pa nih, Dar? “
“ Nyantai aja… “
“ Nyantai aja? Maksudku kita telat gak? Ini jam berapa? “
“ Eh… Udah telat sih. Tapi, kata omku, kalo belum jam 12 gak pa-pa kok! Ini baru jam setengah dua belas lebih 5 menit. “
“ Untunglah… “
Tiiin…!!! Polisi itu masih mengejar.
“ Heh! Berhenti kalian!!! “
“ Lewat jalan pintas aja, Zy! Yang biasa buat adu burung dara, “ perintahku mengingat waktu yang mepet dan polisi aneh yang terus mengejar.
“ Yang lewat tengah sawah kan? Oke deh! “
Kami pun lewat jalan pintas. Polisi aneh itu tak mau mengalah. Dia terus saja mengejar kami. Sebenarnya maunya dia apa sih?
“ Aduh, bensinnya mau abis! “
Waduh!
Motor kami pun mulai melambat. Dan membuat motornya semakin mendekati kami.
“ Kamu turun deh! Ntar biar yang ditangkap aku aja! Terus kamu naik angkot ke kantornya, “ usul Ozy.
Benar juga sih. Tapi, … “ Gak mau! Kita mau jadi polisi berdua, batalnya juga berdua juga dong! “ tolakku.
Tepat saat itu polisi telah menjajari kami. Dia mendelik ke arah kami. “ Berhenti!!! “ Bau minuman keras keluar tajam dari mulutnya, menguatkan dugaan bahwa polisi ini tidak benar.
Kami harus kabur.
“ Sana cepet turun! “
“ Gak mau!!! “
“ Berhenti!!! “
Motor tetap melaju. Aku juga tak kunjung turun dari motor. Polisi itu tak sabar lagi dan mulai meraih ekor motor kami. Dia berhasil. Dia langsung menarik dan mengguncang-guncang motor kami dari belakang. Kami tetap ngotot berjalan dengan motor kami. Kami diam. Suasana begitu tegang.
Polisi makin marah. Dia lalu menendangi motor kami. Kami tetap saja melaju. Lalu, saat melewati tikungan, polisi itu menendang motor kami dengan sangat kuat dan keras. Sangat keras! Aku segera memejamkan mata.
Motor pun oleng. Jatuh terguling-guling. Bersamaan itu suara Ozy mengerang kesakitan menjadi suara yang membuat mataku terbuka.
“ Ozy… !!! “ teriakku saat melihat Ozy yang bersimbah darah tertindih motor, tak jauh dariku.
“ Vi… Vi… Vi…dar… , “ ucapnya susah payah.
Aku segera mendekat dan menyingkirkan motor dari atas tubuhnya. Kuraih kepalanya lalu kupangku. Airmataku mengucur deras. Bibirku tak dapat mengucapkan sesuatu. Hatiku tercampur aduk. Antara sedih, marah, dan geram. Kemana perginya polisi sialan itu? Seenaknya saja dia kabur!!!
Kata-kata tentang kebaikan polisi kembali terngiang. Seperti kaset yang berdengung menyakitkan hati.
Aku benci polisi! Aku benci polisi!!! AKU BENCI POLISI!!! AMAT SANGAT BENCI POLISI!!!
Persetan dengan semua! Yang penting AKU BENCI POLISI!!!
Ozy mengerang pelan. Nafasnya tersengal-sengal seolah kehabisan udara. Haruskah berakhir seperti ini?
“ Vi… vi… dar… “
“ Apa, Zy? “
“ Ja… ja… ngan… ben… ci…po..po…………. ”
Aku menutup telingaku. Aku tidak ingin dengar! Tidak ingin!
Setelah itu, mata Ozy mulai tertutup pelan-pelan. Nafasnya menghilang perlahan. Dan bibirnya mengulas senyum damai.
Airmataku langsung menderas.
“ OZYYY… !!! “
***
Aku tersenyum puas. Bangga. Tanpa rasa bersalah. Mataku menyiratkan mata elang yang telah memangsa buruannya. Dengan santainya, aku melangkahkan kakiku. Memasukan kedua tanganku ke dalam saku celana.
Dendamku terbalas sudah. Kematian Ozy 5 tahun yang lalu akhirnya terbalas. Keinginan ayah terkabul juga.
Kini aku telah menjadi polisi. Polisi yang membenci polisi. Polisi yang tak ingin jadi polisi. Polisi yang membunuh polisi!!!
Bunyi mobil pemadam kebakaran meraung. Sedangkan aku dengan santai meninggalkan kantor tempatku bekerja dalam keadaan terlalap si jago merah. 






No comments:

Post a Comment

ありがとう