Oke,berhubung lagi suka nulis karena
kurang kerjaan daripada gulang-guling gak jelas akhirnya aku putusin buat
nulis ini *latar belakang yang tidak jelas*
Minggu ini tema mata kuliah Dokkai (
Membaca) adalah Utau ( Menyanyi). Dalam buku, diceritakan tentang lagu
tradisional Jepang berjudul シャボン玉 ( Shabondama/Gelembung Sabun). Ini dia
lagunya.
Shabondama tonda
Yane made tonda
Yane made tonde
Kowarete kieta
Yane made tonda
Yane made tonde
Kowarete kieta
Gelembung
sabun terbang
Terbang
sampai atap
Terbang
sampai atap
Lalu
pecah dan hilang
Shabondama kieta
Tobazu ni kieta
Umarete sugu ni
Kowarete kieta
Tobazu ni kieta
Umarete sugu ni
Kowarete kieta
Gelembung
sabun pecah
Tanpa
terbang pecah
Baru
lahir lalu segera
Pecah
dan hilang
Kaze kaze fukuna
Shabondama tobaso
Shabondama tobaso
Angin,
angin jangan bertiup
Gelembung
sabun, terbanglah
Sebelumnya aku udah tau lagu ini
duluan dari iseng-iseng liat youtube. Dari awal aku denger, aku merasa ada
sesuatu yang misterius dari lagu ini sotoy banget lu! Berhubung
penasaran ama artinya aku search di mbah google. Daaaaaaan…..dibalik irama yang lumayan riang lumayan????
memang tersimpan sesuatu yang misterius. Aku bahas dari versi yang udah aku
cari ya….
Menurut salah seorang blog serta mba wiki, Shabondama diciptakan oleh seseorang
bernama Noguchi Ujo, pada tahun 1922 (90 tahun lalu, ya), sebagai nursery
rhyme (lagu pengantar tidur) yang banyak diajarkan di taman
kanak-kanak maupun sekolah dasar. Melodinya simpel, lagu ini sering digunakan
sebagai pengajaran moral bagi anak-anak, yakni sebagai bahan pengajaran untuk
mengenang anak-anak lain yang hidupnya tidak lama. Putri Noguchi, Midori,
meninggal tahun 1908 dalam usia yang sangat singkat, tujuh hari. Pada periode awal setelah Restorasi
Meiji, rata-rata kematian anak setiap tahunnya cukup tinggi. Sekitar dua puluh
sampai tiga puluh anak dari seratus anak akan meninggal sebelum sampai pada
usia sekolah (tujuh tahun). Apalagi, di saat itu, anak adalah tumpuan harapan
keluarga, dan khusus di kasus Noguchi, ia bercerai setelah putrinya ini lahir,
dan sebagai hasilnya, dia meratapi dan menyesali kematian anak satu-satunya ini,
untuk waktu yang lama. Banyak yang bilang, kalau lagu ini ditulis
saat Noguchi melihat anak-anak desanya bermain gelembung sabun di halaman
rumah. Ia teringat tentang usia anaknya yang demikian singkat (seperti
gelembung sabun), dan lagu ini pun akhirnya tercipta.
Nah, itu versi yang beredar di
internet tapi dari buku pelajaran Dokkai-ku, lagu itu dilihat dari sisi yang
berbeda. Jika kebanyakan membahas dari segi Noguchi-nya, dalam buku justru melihat dari segi waktu lagu itu
diciptakan.
Lagu
shabondama awalnya adalah sebuah puisi karya Noguchi, penulis menyangsikan
apakah benar puisi itu diciptakan saat Noguchi melihat anak-anak sedang bermain
gelembung sabun. Menurutnya, dalam puisinya ada jeritan yang tak tampak. Pada
saat puisi itu diciptakan, Jepang bukanlah negera yang makmur seperti sekarang.
Jepang sejatinya bukan negara yang subur, mereka bisa bertani hanya saat musim
semi saja. Bisa dibayangkan, betapa susahnya keluarga petani yang mengandalkan ladang
milik orang lain dan datangnya musim semi. Keluarga petani pada zaman itu,
jangankan memakani anaknya, apakah besok dirinya bisa makan atau tidak dia saja
cemas sehingga mau tak mau mereka akhirnya membunuh anaknya yang baru lahir( di
buku dikatakan dengan ‘mabiku’ 間引く dan kata temenku cara membunuhnya hanya
dengan menutup hidung bayi dengan kain basah). Hal itu dilakukan guna,
mengurangi kesusahan dalam keluarga tersebut sehingga di zaman Meiji banyak
sekali bayi dari keluarga petani yang dibunuh. Menurut penulis, shabondama
diciptakan Noguchi sebagai lagu untuk arwah bayi yang meninggal setelah
dilahirkan (mungkin kalo disini tepatnya doa). Menurutnya, seberapa pun
miskinnya, karena kita masih sama-sama manusia, sebagai manusia pasti ada
kalanya berada di saat-saat terendah. Saat Noguchi melihat anak-anak sedang
bermain gelembung sabun, menurut penulis, Noguchi juga menerbangkan gelembung
sabun sambil berdoa agar arwah-arwah bayi yang telah meninggal dapat terbang ke
langit biru dan bersinar layaknya pelangi ( dalam ajaran mereka, arwah orang meninggal
itu terbang ke atas).
Kata
‘mabiku’ dalam bahasa Jepang punya dua makna,yaitu menjarangkan untuk tanaman
agar tanaman itu dapat tumbuh baik dan arti yang satu lagi adalah membunuh bayi
yang baru lahir (terjadi di desa-desa petani). Seiring perkembangan zaman,
Jepang kini telah menjadi negera yang makmur. Kata ‘mabiku’ tak lagi digunakan.
Tetapi, hal yang sama seperti ‘mabiku’ masih ada bahkanmelebihi dari zaman
dulu. Zaman sekarang banyak orang yang jika memiliki anak tidak dapat
membesarkan, menganggu pendidikan (jika terjadi pada anak yang masih sekolah)
sehingga membunuhnya bahkan sebelum dilahirkan lebih dulu.
Setelah tau ada versi seperti ini juga
aku jadi agak takut waktu menyanyikan lagu ini. Tapi lebih dari itu, ada hal
yang membuatku lebih kepikiran lagi. Kejadian membunuh bayi yang bahkan belum
dilahirkan juga bukan hanya terjadi di Jepang. Di Indonesia pun juga banyak
kejadian serupa sekarang ini. Membunuh bayi??? Aku sempet gak habis pikir, apa
yang sebenernya ada di otak orang tua yang membunuh bayinya sendiri. Mereka
(orang tua yang membunuh) hidup sekarang ini juga karena mereka dilahirkan,
jika mereka membunuh bayi mereka bukankah mereka sama saja membunuh diri mereka
sendiri??? Di luar sana banyak pasangan yang sudah menikah lama dan menginginkan
kehadiran bayi, tapi mereka justru membunuh bayi.
Bukan hanya hal itu yang membuatku
kepikiran. Sekali lagi, aku kembali jatuh cinta dengan Jepang. Cara penulisan
sebuah tulisan di Jepang membuatku terkagum-kagum. Dengan gaya yang khas,
pembaca mau tak mau mengikuti alur tulisan dan masuk kedalam tulisan *maap,
kata-katanya susah dijabarkan*
Satu lagi, aku jadi pengen nulis
tentang lagu tradisional Indonesia serta asal mulanya dalam bahasa Jepang
sehingga bukan hanya kita yang tahu lagu tradisional Jepang tapi orang Jepang
juga tau lagu tradisional kita.