Monday 26 May 2014

Shabondama ( Gelembung Sabun )



Oke,berhubung lagi suka nulis karena kurang kerjaan daripada gulang-guling gak jelas akhirnya aku putusin buat nulis ini *latar belakang yang tidak jelas*
Minggu ini tema mata kuliah Dokkai ( Membaca) adalah Utau ( Menyanyi). Dalam buku, diceritakan tentang lagu tradisional Jepang berjudul シャボン玉 ( Shabondama/Gelembung Sabun). Ini dia lagunya.

Shabondama tonda
Yane made tonda
Yane made tonde
Kowarete kieta
Gelembung sabun terbang
Terbang sampai atap
Terbang sampai atap
Lalu pecah dan hilang
Shabondama kieta
Tobazu ni kieta
Umarete sugu ni
Kowarete kieta
Gelembung sabun pecah
Tanpa terbang pecah
Baru lahir lalu segera
Pecah dan hilang
Kaze kaze fukuna
Shabondama tobaso 
Angin, angin jangan bertiup
Gelembung sabun, terbanglah
Sebelumnya aku udah tau lagu ini duluan dari iseng-iseng liat youtube. Dari awal aku denger, aku merasa ada sesuatu yang misterius dari lagu ini sotoy banget lu! Berhubung penasaran ama artinya aku search di mbah google.  Daaaaaaan…..dibalik irama yang lumayan riang lumayan???? memang tersimpan sesuatu yang misterius. Aku bahas dari versi yang udah aku cari ya….
Menurut salah seorang blog serta mba wiki, Shabondama diciptakan oleh seseorang bernama Noguchi Ujo, pada tahun 1922 (90 tahun lalu, ya), sebagai nursery rhyme (lagu pengantar tidur) yang banyak diajarkan di taman kanak-kanak maupun sekolah dasar. Melodinya simpel, lagu ini sering digunakan sebagai pengajaran moral bagi anak-anak, yakni sebagai bahan pengajaran untuk mengenang anak-anak lain yang hidupnya tidak lama. Putri Noguchi, Midori, meninggal tahun 1908 dalam usia yang sangat singkat, tujuh hari. Pada periode awal setelah Restorasi Meiji, rata-rata kematian anak setiap tahunnya cukup tinggi. Sekitar dua puluh sampai tiga puluh anak dari seratus anak akan meninggal sebelum sampai pada usia sekolah (tujuh tahun). Apalagi, di saat itu, anak adalah tumpuan harapan keluarga, dan khusus di kasus Noguchi, ia bercerai setelah putrinya ini lahir, dan sebagai hasilnya, dia meratapi dan menyesali kematian anak satu-satunya ini, untuk waktu yang lama. Banyak yang bilang, kalau lagu ini ditulis saat Noguchi melihat anak-anak desanya bermain gelembung sabun di halaman rumah. Ia teringat tentang usia anaknya yang demikian singkat (seperti gelembung sabun), dan lagu ini pun akhirnya tercipta.


Nah, itu versi yang beredar di internet tapi dari buku pelajaran Dokkai-ku, lagu itu dilihat dari sisi yang berbeda. Jika kebanyakan membahas dari segi Noguchi-nya, dalam buku  justru melihat dari segi waktu lagu itu diciptakan.
Lagu shabondama awalnya adalah sebuah puisi karya Noguchi, penulis menyangsikan apakah benar puisi itu diciptakan saat Noguchi melihat anak-anak sedang bermain gelembung sabun. Menurutnya, dalam puisinya ada jeritan yang tak tampak. Pada saat puisi itu diciptakan, Jepang bukanlah negera yang makmur seperti sekarang. Jepang sejatinya bukan negara yang subur, mereka bisa bertani hanya saat musim semi saja. Bisa dibayangkan, betapa susahnya keluarga petani yang mengandalkan ladang milik orang lain dan datangnya musim semi. Keluarga petani pada zaman itu, jangankan memakani anaknya, apakah besok dirinya bisa makan atau tidak dia saja cemas sehingga mau tak mau mereka akhirnya membunuh anaknya yang baru lahir( di buku dikatakan dengan ‘mabiku’ 間引く dan kata temenku cara membunuhnya hanya dengan menutup hidung bayi dengan kain basah). Hal itu dilakukan guna, mengurangi kesusahan dalam keluarga tersebut sehingga di zaman Meiji banyak sekali bayi dari keluarga petani yang dibunuh. Menurut penulis, shabondama diciptakan Noguchi sebagai lagu untuk arwah bayi yang meninggal setelah dilahirkan (mungkin kalo disini tepatnya doa). Menurutnya, seberapa pun miskinnya, karena kita masih sama-sama manusia, sebagai manusia pasti ada kalanya berada di saat-saat terendah. Saat Noguchi melihat anak-anak sedang bermain gelembung sabun, menurut penulis, Noguchi juga menerbangkan gelembung sabun sambil berdoa agar arwah-arwah bayi yang telah meninggal dapat terbang ke langit biru dan bersinar layaknya pelangi ( dalam ajaran mereka, arwah orang meninggal itu terbang ke atas).
Kata ‘mabiku’ dalam bahasa Jepang punya dua makna,yaitu menjarangkan untuk tanaman agar tanaman itu dapat tumbuh baik dan arti yang satu lagi adalah membunuh bayi yang baru lahir (terjadi di desa-desa petani). Seiring perkembangan zaman, Jepang kini telah menjadi negera yang makmur. Kata ‘mabiku’ tak lagi digunakan. Tetapi, hal yang sama seperti ‘mabiku’ masih ada bahkanmelebihi dari zaman dulu. Zaman sekarang banyak orang yang jika memiliki anak tidak dapat membesarkan, menganggu pendidikan (jika terjadi pada anak yang masih sekolah) sehingga membunuhnya bahkan sebelum dilahirkan lebih dulu.
Setelah tau ada versi seperti ini juga aku jadi agak takut waktu menyanyikan lagu ini. Tapi lebih dari itu, ada hal yang membuatku lebih kepikiran lagi. Kejadian membunuh bayi yang bahkan belum dilahirkan juga bukan hanya terjadi di Jepang. Di Indonesia pun juga banyak kejadian serupa sekarang ini. Membunuh bayi??? Aku sempet gak habis pikir, apa yang sebenernya ada di otak orang tua yang membunuh bayinya sendiri. Mereka (orang tua yang membunuh) hidup sekarang ini juga karena mereka dilahirkan, jika mereka membunuh bayi mereka bukankah mereka sama saja membunuh diri mereka sendiri??? Di luar sana banyak pasangan yang sudah menikah lama dan menginginkan kehadiran bayi, tapi mereka justru membunuh bayi.
Bukan hanya hal itu yang membuatku kepikiran. Sekali lagi, aku kembali jatuh cinta dengan Jepang. Cara penulisan sebuah tulisan di Jepang membuatku terkagum-kagum. Dengan gaya yang khas, pembaca mau tak mau mengikuti alur tulisan dan masuk kedalam tulisan *maap, kata-katanya susah dijabarkan*
Satu lagi, aku jadi pengen nulis tentang lagu tradisional Indonesia serta asal mulanya dalam bahasa Jepang sehingga bukan hanya kita yang tahu lagu tradisional Jepang tapi orang Jepang juga tau lagu tradisional kita.

2 comments:

ありがとう