Thursday 27 December 2012

Awan itu...



Seorang wanita tua berjalan tertatih lunglai di bawah awan mendung yang hampir meneteskan hujan. Tak ada semangat sedikitpun tampak di wajahnya. Hanya ada segurat rasa kecewa dan pasrah. Jalan di sampingnya nampak lengang. Maklum hari sudah sore.
Dalam benak wanita itu masih terngiang tajamnya ucapan yang membuatnya kecewa dan pasrah.
“ Buat apa kamu pinjem uang sebegitu banyaknya? Bukannya uang yang selama ini aku berikan udah lebih dari cukup? “
“ Aku butuh sekali uang, Mas. “
“ Untuk apa yang aku tanya? “
“ Pokoknya sekarang aku sedang butuh uang, Mas. “
“ Heh, buntung busuk! Kalo ditanya jawab dulu! Buat apa uangnya? “
Wanita tua itu menunduk diam. Menatap kaki kanannya yang tinggal separuh  tertutup kaki palsu.Jelas ada hal yang tak bisa dikatakannya.
“ Dasar, buntung busuk tak tahu diuntung! Kalo mau punya uang yang banyak jangan minta ke mantan suami. Sana minta sama orang di jalan! Dasar buntung busuk! Udah untung dulu kaki buntung busukmu tak ganti kaki palsu. Otakmu ikut-ikutan busuk ya? “
“ Tapi aku bener-bener lagi butuh uang. Aku mohon mas pinjami aku uang. “
“ Terus kamu bayar pake apa ntar, Hah?!? “
“ Walopun lama ntar aku pasti akan bayar, Mas. “
“ Mas??? Mas katamu? Heh, aku sekarang bukan suamimu lagi, Buntung! “
“ Mas, aku mohon. Ini untuk yang terakhir kalinya. Aku janji gak akan nemuin mas lagi. “ Wanita tua itu kembali memohon.
“ Sana pergi, Wanita Buntung Busuk! Aku udah gak mau liat buntung busukmu itu!  Laki-laki yang sedari tadi duduk di depan wanita itu berdiri lantas menendangnya.
Namun wanita itu malah memegang erat-erat kaki mantan suaminya itu. Mantan suaminya pun semakin marah. Dia tak tinggal diam. Tanganya langsung bergerak untuk menampar wanita itu.
Plak!
“ Dasar Buntung Busuk gak tau diuntung! “ Sekali lagi laki-laki itu menampar mantan istrinya yang terduduk lemas di lantai.
Plak !
Tes,tes,tes. Gerimis mulai turun. Wanita tua itu memegang salah satun pipinya yang membiru. Nyeri dan perih. Apalagi di ujung bibirnya berdarah. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, wanita tua itu kembali berjalan tertatih dengan kaki kanan palsunya yang sudah lama tak dilepas karena kekecilan.
Di dekat jembatan tua dia berhenti sejenak untuk membenahi kaki palsunya. Tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan yang sangat deras. Wanita tua itu lantas berteduh di bawah pohon mangga yang berdaun lebat tak jauh dari jembatan tadi. Menunggu hujan deras itu reda, dia memandang ke atas, ke awan yang sedang menumpahkan hujan.
“ Ibu gagal dapet uang. Maaafi ibu, Fin… “ ujarnya lirih di tengah suara hujan yang deras. Air matanya perlahan mengalir di kedua pipinya yang agak membengkak.
Lama dia memandang awan sambil menangis. Namun dia sadar dan segera menghapus air matanya. Ada seseorang yang sedang menantinya di rumah. Di tengah hujan deras yang masih turun, dia pulang dengan berjalan tertatih. Tak ayal dalam sekejap saja seluruh tubunya langsung basah kuyup.Namun dia tetap tak peduli bahkan ketika petir menggelegar di atasnya. Baginya yang terpenting adalah pulang.


Rumah reyot yang lebih pantas disebut gubuk itu bocor dimana-mana. Tak heran karena sebagian besar atapnya tak bergenteng. Bukan karena gentengnya jatuh lalu pecah. Melainkan karena sengaja dijual oleh si penghuni rumah.
Di pojok kamar – satu-satunya ruangan yang aman dari bocor , ada selembar kasur tipis tanpa ranjang yang di atasnya terbaring lemah seorang pemuda berambut gondrong. Tubuhnya sangat kurus. Hanya kulit dan sedikit sekali daging yang membalut tulangnya yang kecil. Wajahnya aneh karena terlihat agak seperti seorang perempuan. Ditambah lagi dia mempunyai 2 tonjolan di dada yang mirip dengan payudara tetapi tak sempurna. Ya, sepertinya dia seorang waria.
Seorang wanita tua bertubuh basah kuyup masuk ke kamar itu dengan langkah tertatih. Nampaknya dia sangat tak nyaman dengan kaki palsunya.
Dia menatap sedih ke arah pemuda yang sedang terbaring lemah dengan nafas tak teratur.
“ Fin, ibu pulang…” ucapnya lirih sembari duduk di samping anaknya.
Perlahan pemuda itu membuka matanya yang cekung dan menghitam. Lama dia menatap ibunya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Tersenyum bohong. Ibunya paham betul anaknya sangat lemah bahkan untuk bicara pun tidak bisa.
 “ Kamu lapar, Fin? “ Tanyanya walaupun dia tahu anaknya tak akan menjawabnya. Dia juga jelas tahu dari kemarin lusa mereka tidak makan apa-apa. Hanya minum air hujan yang ditampungnya.
“ Ibu ambil air minum dulu ya…” Ibunya melangkah tertatih keluar.
Setibanya di luar kamar dia malah terduduk lemas. Air matanya mengucur deras tetapi tak ada sedikitpun suara dari mulutnya. Dia menangis dalam diam.
Ingatannya kembali menampilkan kejadian yang tak ingin diingatnya lagi. Kejadian yang bermula dari rasa sakit di pahanya yang lama kelamaan nampak seperti luka. Luka-luka itu semakin banyak di kaki kanannya. Baunya menyengat dan dihinggapi banyak lalat. Satu persatu tetangganya mulai bergosip tentang sakit yang dideritanya. Mereka beranggapan dia mendapat semacam ‘ kutukan ‘ karena kejahatannya. Kian lama gosip itu beredar, kian jauh dia dijauhi oleh tetangganya. Bahkan suaminya juga terpengaruh dan beranggapan dia adalah istri yang jahat karena menelantarkan bapaknya yang dulu juga menderita sakit yang sama. Ujungnya dia diceraikan oleh suaminya. Setelah itu suaminya menikah dengan orang lain. Anaknya yang saat itu masih SMP juga terpengaruh. Dia membenci ibunya. Di keluarga bapaknya, dia diperlakukan layaknya bukan anak. Karena itu dia kabur dan terjerumus ke pergaulan bebas yang lantas menjadikannya waria. Sejak saat itulah dia sadar hidupnya dalam sekejap berantakan seperti awan yang terseret angin besar. Dia pun berusaha minta pertolongan dari kepala desa untuk mambantu menyembukan sakit yang dideritanya. Akhirnya sakit yang bernama Kusta itu berhasil disembuhkan tetapi kaki kanannya harus dia relakan untuk diamputasi.
Hidup menjadi penyandang cacat bukanlah hal yang mudah baginya. Dia ditolak bekerja dimana-mana karena dia dinilai tidak becus melakukan pekerjaan apapun. Berkat suaminya, dia akhirnya bisa mendapat kaki palsu. Setelah mendapat kaki palsu pekerjaan tak kunjung datang padanya. Gosip itu masih berlaku. Kusta adalah sebuah ‘ kutukan ‘ untuk orang jahat.
Hujan di luar sana masih turun dengan derasnya. Wanita tua yang sedari tadi menangis dalam diam perlahan menghapus air matanya. Bagaimanapun caranya dia harus mendapatkan uang agar anaknya bisa makan. Sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia segera beranjak dan melangkah ke luar rumah.


Awan mendung kini hilang. Langit dipenuhi bintang. Hujan deras tadi sore kini hanya menyisakan dingin yang menusuk tulang.
Rumah reyot itu masih basah dimana-mana. Wanita tua itu berjalan terpincang memasuki pintunya yang sudah rusak. Kaki palsunya kini telah tiada. Dia hanya berjalan dengan menggunakan kayu yang diikatkan dengan karet di kaki kanannya.  Sebagai gantinya dia membawa seplastik penuh makanan. Ya, kaki palsunya telah dia jual.
Mukanya pucat dan tubuhnya masih basah kuyup. Dia terlihat lemas sekali. Dengan terpincang-pincang dia masuk ke kamar dimana anaknya terbaring lemah.
“ Fin, ibu bawa makanan. Ayo, kita makan bareng. “
Perlahan mata anak semata wayangnya terbuka. Ibunya tersenyum sembari mengangkat plastik penuh dengan makanan.
Dengan sigap ibunya membuka bungkus nasi dengan lauk telur dan sayur daun singkong. Itu makanan yang sangat mewah bagi mereka. Mewah sekali karena mereka jarang sekali makan nasi. Biasanya mereka hanya makan sepotong singkong, itu pun tidak setiap hari.
“ Ayo, makan Fin. “ Wanita tua itu menyuapi anaknya dengan tangan.
Perlahan sang anak membuka mulutnya dan memakannya. Dia mengunyahnya dengan pelan sekali. Sembari makan dia terus memandangi ibunya.
Wanita tua itu terus menyuapi anaknya sampai makanannya habis. Setelah itu dia meminumkan sekotak susu cair pada anaknya.
“ Semoga besok kamu sembuh ya, Fin. Sekarang kamu tidur dulu. “ Wanita tua itu mengusap kepala anaknya lembut sembari merebahkan diri di samping anaknya.
Pemuda itu masih memandangi ibunya. Memandangi kaki palsu ibunya yang telah tiada.
Wanita tua itu terus mengelus kepala anaknya sampai akhirnya dia tertidur.
Pemuda itu terus memandangi ibunya yang sudah terlelap. Tanpa dia sadari, air matanya telah mengalir.
Di luar sana entah kenapa tiba-tiba hujan kembali turun.


Awan putih nampak berarakan di langit biru. Rumput hijau bergoyang ditiup angin semilir menyebarkan harum khasnya. Hari yang cerah dan indah.
Wanita tua tersenyum sambil berbaring memandang langit di sebuah padang rumput yang luas. Di samping wanita tua itu terbaring anak semata wayangnya. Dia juga sedang memandang langit.
“ Ibu suka sekali dengan awan. Fin, kamu tahu kenapa ibu suka awan ? “
“ Gak, Bu. Emang kenapa? “
“ Karena kadang awan bisa berubah menjadi awan mendung hitam. Kadang dia juga bisa berubah menjadi awan putih bersih.“
“ Awan itu seperti hati manusia yang bisa berubah.”
“ Berkat awanlah ibu bisa bertahan selama ini. Ibu tahu hati manusia bisa berubah kapanpun. Mungkin dulu dia membenci ibu tapi suatu saat dia bisa menyukai ibu. Tapi sekarang itu sudah tak ada artinya lagi bagi ibu. “
“ Benar, Bu. Kini tak ada artinya lagi. “
Angin semilir bertiup. Membuat  ibu dan anak itu terbuai. Mereka berdua lalu terlelap.


“ Seorang ibu dengan kaki kanan buntung dan ananknya ditemukan meninggal di rumah mereka. Diduga sang ibu terlebih dulu meninggal kira-kira empat hari yang lalu karena mengalami infeksi parah di kaki kanannya. Kemudian disusul oleh  sang anak yang meninggal sehari kemudian. Sang anak sendiri adalah seorang waria yang mengidap HIV/AIDS dan kanker paru-paru. Menurut salah satu warga di sekitar tempat kejadian, mereka berdua dikucilkan oleh tetangga karena sang ibu dulunya menderita kusta. Berikut liputannya. “

No comments:

Post a Comment

ありがとう